Kamis, 23 Maret 2017

by ustadz taufiq



Pengertian Balaghah
By Dr. H. R. Taufiqurrochman, MA on 1 September 2011
·         Pengertian Bahasa

Secara etimologis, berasal dari kata بلغ searti dengan وصل (sampai).
Makna “sampai” dalam kata balaghah, bisa ditemukan, misalnya, dalam firman Allah:

·         حتى إذا بلغ أشدَّه وبلغ أربعين سنة (الأحقاف: 15)

Dalam ungkapan sehari-hari, arti “sampai” juga bisa ditemukan, contoh:

·         بلغ فلان مرادَه أي وصل إليه (Maksud si Fulan sudah sampai, artinya, tujuannya tercapai)

·         بلغ الركب المدينة (Rombongan itu telah balagh atau sampai di kota)

·         Pengertian Istilah

Secara terminologis, balaghah didefinisikan:

البلاغة هي مطابقة الكلام الفصيح لما يقتضيه الحال (لمقتضى الحال(

Artinya, “Balaghah adalah kesesuaian kalimat yang fasih (tepat, benar) dengan situasi dan kondisi (muqtadhal haal). Kalam atau bahasa yang fasih/jelas sesuai dengan situasi dan kondisi, inilah pengertian balaghah.

Situasi dan kondisi yang dimaksud disini adalah audiens (مخاطب). Perubahan sikon audiens menuntut pula perubahan susunan bahasa agar “nyambung”, tidak “mis komunikasi”.

Nilai balaghah setiap kalam bergantung kepada sejauh mana kalam itu dapat memenuhi tuntutan situasi dan kondisi setelah memperhatikan fasahah-nya (benar secara gramatikal).

Dalam kajian sastra, balaghah menjadi sifat dari kalam dan mutakallim, sehingga muncul sebutan كلام بليغ dan متكلم بليغ. Karena itu, Balaghah memiliki 2 aspek; (1) balaghah kalimat atau kalam baligh dan (2) balaghah pembicara atau mutakallim baligh.
·           Pengertian Kalam Baligh

الكلام البليغ : هو الذي يصوره المتكلم بصورة تناسب أحوال المخاطبين

Kalam Baligh ialah kalam yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta terdiri dari kata-kata yang fasih (tepat, indah)
·          Pengertian Mutakallim Baligh

المتكلم البليغ أو بلاغة المتكلم : هو مملكة في النفس يقتدر بها صاحبها على تأليف كلام بليغ مطابقة لمقتضى الحال

Mutakallim Baligh ialah kepiawaian yg ada pd diri seseorang dalam menyusun kata-kata baligh (indah-tepat) sesuai dgn waktu dan tempat (situasi-kondisi)

·          Contoh Kalam Baligh
      يقول الناس إذا رأوا لصا أو حريقا : لصٌّ ، حريقٌ


Kalimat di atas, artinya, “Orang-orang berteriak saat mereka melihat maling atau kebakaran, dengan cukup berkata: Maliiiiing, Kebakaraaan”.

 Kata “Maling” (lishshun) dan kata “Kebakaran” (hariiq) merupakan kalam baligh atau kata yang sesuai dengan konteks atau situasi yang mana mereka memilih satu kata saja, singkat, padat, jelas, mengingat keadaan menuntut hal itu, yakni menuntut tindakan cepat dan segera ada respon dari kalimat tersebut.

 Seandainya kalimat itu menggunakan sebuah kalimat yang memiliki unsur lengkap, misalnya:هو لص (dia maling), وجد حريق (ada kebakaran), maka pilihan kalimat semacam ini, kelas balaghah-nya masih kalah dibanding dengan contoh pertama di atas. Sebab, meski unsur-unsurnya lengkap (ada mubtada’ dan khabar), tapi kalimat itu terlalu panjang sehingga sangat boleh jadi malah kurang mendapat respon dari orang lain karena redaksinya yang panjang .

     قال الله (وَأَنَّا لاَ نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الأرض ، أَمْ أَرَادَ بِهم ربُّهم رشدا)(الجن: 10)


Artinya, “Dan kami (jin) tidak mengetahui apakah yang dikehendaki buruk terhadap penduduk bumi ataukah Tuhan mereka (Allah) menghendaki kebaikan” (QS. Jin:10)

 Pada ayat ini, ada kata “Urida” (dengan kata kerja pasif atau mabni majhul) sedangkan kata “Arada” (dengan kata kerja aktif atau mabni ma’lum yang jelas menunjukkan adanya subjek, yakni kata “Tuhan mereka”).

Dimana letak keindahannya dari kedua perbedaan tersebut? Jawabnya, kata “urida” (majhul) memang sengaja digunakan untuk menyembunyikan subjeknya, yakni “Allah”. Sebab, akan kurang sopan memunculkan subjek (Allah) untuk urusan keburukan. Berbeda dengan kata “arada” (ma’lum) yang sengaja dipakai dengan menunjukkan adanya subjek secara jelas dengan adanya kata “Tuhan mereka” untuk menunjukkan bahwa kebaikan adalah kehendak Allah. Padahal, kita tahu, keadaan baik maupun buruk, semuanya adalah kehendak dan ciptaan Allah. Hanya saja, untuk keburukan tidak langsung dinisbatkan kepada Allah dengan cara menyembunyikan subjeknya demi mengagungkan Allah.

Contoh lain, misalnya, penutup pidato yang biasa diucapkan da’i, “Bila ada kata-kata yang baik, semua itu dari Allah. Tapi, bila ada kata-kata yang salah, itu semata-mata dari saya pribadi sebagai manusia”.

Kalimat pidato ini jelas menunjukkan kalimat yang indah, baligh dari seorang muballigh atau da’i yang baligh (mutakallim baligh). Dia ingin menunjukkan kehormatan dan pengagungan terhadap Allah, meski sebenarnya dia tahu bahwa semua kata, apakah itu baik maupun buruk, semuanya berasal dari Allah.

Linguistik berasal dari bahasa latin, lingua. Dalam bahasa Perancis berpadanan dengan katalangue dan langage. Sedangkan dalam bahasa Italia berpadanan dengan kata lingua dan dalam bahasa Spanyol berpadanan dengan kata lengua.

Secara leksikal, kata linguistik bermakna bahasa. Sedangkan secara terminologis, linguistik mempunyai pengertian sebagai berikut:

1-   Linguistik adalah penelaan bahasa secara ilmiah. (Kamus Pringgodigdo dan Hassan Shadily, 1977)
2- Linguistik adalah ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek forma bahasa lisan dan tulisan yang mempunyai ciri-ciri pemerlain. (Chaedar Alwasilah, 1993)
3-   Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. (Al-Khully, 2003)

Linguistik, ilmu bahasa, dibedakan menjadi 2 macam. Pertama, linguistik murni, teoritis, pure, nadzary. Kedua, linguistik terapan, praktis, tathbiqy.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFBWp0uP-4Mwm8Av3kHA6iZk9IXAdBh2IOfa06wLypjbzuXCGxe25Ekk8JzbKOJoiX2_VbSsdkBUr2D9Eia7hemUwKB0-jiRhe8TmjHQDVrrjeVAx8KKe8TllJnWwdlpAoQ-uAKj6i3c8/s400/balaghah1.jpg


Pertama, Linguistik Teoritis, yaitu ilmu bahasa yang membahas unsur-unsur utama tentang bahasa itu sendiri.

Ketika bahasa mencakup kajian tentang suara atau bunyi bahasa berdasarkan hakikat bahasa adalah bunyi “al-Lughah hiya al-shawt”, maka lahir ilmu fonologi atau ilm al-ashwaat (ilmu yang mempelajari tentang bunyi). Ilmu Bunyi ini berkembang luas hingga muncul ilmu fonetik, dan ketika ilmu dihubungkan dengan penelitian terhadap al-Qur’an, muncul ilmu tajwid, ilmu qiraat, dan sebagainya.

Ketika dalam kajian bahasa juga dibahas tentang teori pembentukan kata, lalu lahirlah ilmu morfologi atau ilmu sharaf. Ilmu ini membahas pembentukan kata, derivasi kata, struktur kata, kata plural dan tunggal, kata ganti atau dhamir, dan sebagainya.

Ketika bahasa mengkaji hal yang lebih luas daripada sekedar bunyi dan kata, tapi juga kalimat, maka diperlukan ilmu nahwu atau ilmu sintaksis yang bertugas untuk mempelajari susunan kalimat, kedudukan kata dalam kalimat, bentuk-bentuk gramatis dalam kalimat, dan sebagainya. Di Indonesia, ilmu nahwu paling berkembang luas, terutama di dunia pesantren. Berbagai literatur mulai dari ringkas dan mudah hingga yang luas dan mendalam, juga dipelajari.

Pada tahap selanjutnya, bahasa pun tidak sekedar membahas kalimat, kata atau bunyi. Namun, bahasa juga membahas makna. Bahkan, makna dinilai sebagai hal terpenting dari bahasa, mengingat bahasa sekedar sebagai alat komunikasi, dan dalam berkomunikasi pesanlah yang disalurkan oleh pemberi pesan kepada penerima pesan. Pesan itu adalah makna, dan makna dalam linguistik dibahas dalam ilmu khusus, yakni ilmu semantik (ilmu makna).

Ilmu Semantik ini makin berkembang luas. Pada awalnya, ia hanya membatasi pada pembahasan makna tiap kata sehingga lahir ilmu vocabulary atau ilmu mufradaat. Di sana, makna kata dikupas tuntas, dicari pengembangan makna dari sebuah kata, penyempitan makna, perluasan, makna ganda, makna denotatif – konotatif, dan sebagainya.

Pada perkembangan selanjutnya, kumpulan makna itu perlu dihimpun, diklasifikasikan, dan disimpan. Atas dasar ini, muncul ilmu leksikologi atau ilmu ma’ajim. Yakni, ilmu perkamusan sebagai pengembangan ilmu kosakata. Dalam ilmu ini, dibahas model-model kamus, tehnik penulisan dan penyusunan kosakata, jenis-jenis kamus, dan sebagainya.

Pada perkembangan selanjutnya, semantik pun turut diperluas kajiannya. Bahwa, bahasa tidak hanya sekedar membahas bunyi, kata, kalimat dan makna. Tapi, lebih daripada itu, ada hal lain yang juga penting dikaji yang itu juga mempengaruhi pemaknaan bahasa, penggunaan kata dan penyampaian bunyi atau intonasi berbahasa. Hal itu adalah konteks. Yah, konteks atau siyaaq dinilai sebagai hal urgen untuk dipelajari. Untuk mempelajari konteks itulah diperlukan ilmu pragmatik, yakni ilmu yang membahas konteks atau wacana berbahasa.

Melihat bagan di atas, tampaknya, ilmu balaghah tidak masuk dalam kajian linguistik. Padahal sebenarnya, ilmu balaghah yang terdiri dari ilmu ma’ani, ilmu bayan dan ilmu badi’, telah ada dalam bagan linguistik di atas.

Ilmu Balaghah yang membahas makna kalimat dan konteksnya (ilmu ma’ani), secara ontologis dan epistemologis, ada kesamaan dengan ilmu pragmatik. Ilmu Ma’ani juga terkait dengan semantik dan bahkan, ketika ilmu ma’ani membahas bentuk-bentuk kalimat khabari dan insya’i, ia masih terkait juga dengan ilmu sintaksis (nahwu), ilmu morfologi (sharaf) dan ilmu fonologi (aswaat).

Demikian pula, ketika ilmu balaghah membahas tentang makna kata yang meliputi tasybih, majaz, kinayah (ilmu bayaan), maka ilmu ini juga memiliki titik temu dengan ilmu leksikologi dan ilmu mufradaat. Termasuk juga, ketika ilmu balaghah bagian ketiga (ilmu badi’) yang membahas keindahan kata dan makna, maka ini juga juga hampir sama kajiannya dengan ilmu semiotika atau ilmu usluub yang sejatinya juga membahas gaya bahasa.

Dengan demikian, bisa dikatakan, bila kita mempelajari ilmu balaghah secara paripurna meliputi ketiga bidangnya (ma’ani, bayan, badi’), maka sebenarnya kita telah mempelajari linguistik murni secara lintas kajian. Oleh sebab itu, Muhammad Al-Khuli berusaha memposisikan balaghah dalam bagan di bawah ini

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2367oEOo1zy3XSOp7xeP8Ha3KQliSFSZ2eKITjBl84kuj9j-1Z3Cqe0wT8FNYHtYBPWzsQPI21P7y3GaiX0ifwZsxP7YufPgN-NF27rXcwoV8-wwNAMJk3xs77EJUU0yyDjTO-GpRiTI/s400/Balaghah2.jpg


Meski demikian luasnya kajian balaghah dan ia berada di mana-mana, kan tetapi, untuk mempelajari balaghah di era kini, perlu juga dihubungkan dengan ilmu linguistik modern, mengingat linguistik modern yang terus berkembang, terutama pada obyek kajiannya yang sering dikaitkan dengan tindak tutur dan tindak berbahasa masa kini.

Sedangkan balaghah yang hanya mempelajari obyek kajiannnya terbatas pada ayat-ayat al-Qur'an, hadis Nabi, puisi (syair) maupun prosa (natsr) ulama balaghah klasik, maka kondisi semacam itu tidak akan banyak membantu penguasaan bahasa secara luas. Di sisi lain, belajar balaghah yang terbatas pada kajian “tempo doeloe” juga akan mempersempit balaghah itu sendiri dan membuatnya stagnan.

Kedua, Linguistik Praktis, yaitu ilmu bahasa yang membahas semua unsur bahasa, lalu ilmu linguistik murni itu dihubungkan atau digabung dengan ilmu lain.

Misalnya, gabungan antara linguistik dan sosiologi melahirkan sosiolinguistik (ilm lughah ijtima’i); gabungan ilmu tentang jiwa atau psikologi dengan ilmu bahasa melahirkan psikolinguistik (ilm lughah nafsi); dan sebagainya.

Selain cabang di atas, bagian lingustik terapan tidak hanya sosiolinguistik dan psikolinguistik, tapi masih banyak yang lain, seperti: geolinguistik (ilm lughah jughrafi). Paedagogik-linguistik, leksikografi, matematika-linguistik, dan seterusnya.

Pendahuluan

Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu masa. Ilmu mengalami fase sejarah dimana ia muncul, berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami kepunahan.

Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.

Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli meliputi tiga segi, yaitu: (1) Sejarah tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain.

Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbarui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih maju, tidak mengalami kejumudan atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.

Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih banyak pada sejarah tentang materi balaghah, tanpa banyak menyebutkan tokoh-tokoh maupun buku-buku karangan balaghah yang ada.

Al-Quran dan Munculnya Ilmu-Ilmu Bahasa Arab

Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor turunnya Al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran sebagai kitab samawi pegangan umat Islam merupakan inspirator bagi para ahli bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya, membantu memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.

Para pakar bahasa ketika menghendaki menafsirkan satu ayat atau menetapkan makna dari satu kata yang sulit dipahami, maka mereka mendatangkan syair jahiliy yang memuat kata tersebut beserta makna dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya bagi tafsir yang banyak menggunakan pemaknaan secara bahasa, misal Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para pakar dengan syair dan produk kesusastraan (adab) lainnya inilah yang menjadikan mereka menulis berjilid-jilid buku tentang kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan khazanah sastra lainnya. Mereka menulisnya salah satunya demi khidmah kepada Al-Quran.

Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kata-kata muncul dan berkembang. Ilmu-ilmu ini lebih dari dua puluh macam, seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl, dan lain-lainnya.

Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.

Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka. Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai pemilik bahasa tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa mereka.

Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.

Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.

Munculnya Ilmu Balaghah

Tema-tema ilmu balaghah mulai muncul belakangan setelah muncul dan mulai berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Tema-tema ini yang dulunya dikenal sebagai kritik sastra (naqd al-adab) semakin berkembang lebih dari pada masa jahiliyah.

Mulai dari masa khilafah Umawiyah, sebenarnya para ulama pakar sastra mulai bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya dengan contoh dan bukti-bukti dari apa yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka. Dari sinilah kemudian mulai muncul balaghah ‘arabiyyah dari berbagai segi. Disusunlah buku-buku yang berbicara tentangnya hingga sampailah fase pengajaran dari sebuah ilmu.

Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170 H).

Untuk ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.

Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far denganNaqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (w. 337 H).
Itulah ilmu balaghah pada masa awal kemunculannya. Yaitu terutama pada masa- masa abbasiy kedua (232-334 H). Dalam fase tersebut, balaghah dengan tiga cabangnya masih belum jelas keterkaitannya dalam kesatuan balaghah hingga nantinya memasuki masa perkembangannya di abad kelima hijriyah.

Perkembangan Ilmu Balaghah

Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah, Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjaniy (w. 471 H) yang mengarang kitab tentang ilmu ma’aniy dengan judul Dalailul I’jaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian setelah beliau, hadirlah abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf As-Sakakiy Al-Khawarizmi (w. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah al-‘Ulum.

Perkembangan balaghah pada masa ini salah satunya disebabkan oleh persinggungannya dengan ilmu kalam dan filsafat terkait dengan i’jazul Quran. Adanya fenomena inilah yang kemudian oleh para pakar sekarang dimunculkan istilah madrasah adabiyyah dan madrasah kalamiyyah atas dasar kecenderungan yang dipilih dalam melakukan pembahasan balaghah.

Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pembela madrasah kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah mereka dengan membuat batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.

Sedangkan madrasah adabiyyah, mereka sangat berlebihan dalam mengajukan bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali memperhatikan tentang definisi dan lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni, keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.

Demikianlah, madrasah kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan penguatan i’jazul Quran yang mana hal itu adalah titik temu antara sastra, akidah, filsafat ketuhanan, dan lainnya. Sedangkan madrasah adabiyyah, mereka banyak menguatkan karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa kritis.

Masa berjalan, pada akhirnya madrasah kalamiyyah lebih menguat dibandingkan adabiyyah hingga sampailah konsep balaghah yang kita kenal saat ini, dari kitab-kitab yang ditulis para pakar-pakarnya tersebut dari masa ke masa.

Penutup

Dari kajian terhadap literatur yang ada, terkait balaghah, maka ia memiliki sejarah tersendiri, mulai dari benihnya, munculnya, hingga perkembangannya.

Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi balaghah telah mendarah daging dalam penggunaan bahasa Arab baik dalam puisi maupun prosa. Dalam masa ini kemudian Al-Quran turun dengan kemukjizatan sehingga mengalahkan selainnya dalam hal ketepatan dan keindahan bahasanya.

Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga mulai muncul dan dikenal pada masa abbasiy kedua, yaitu abad ketiga dan keempat hijriyah. Pada masa ini, balaghah masih belum jelas bentuknya. Kemunculan ini disertai dengan disusunnya kitab dengan tema tersebut. Kemudian, ilmu ini berkembang mulai abad kelima dengan ciri khasnya yang mulai bersinggungan dengan I’jazul Quran sehingga memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran sastra dan kalam. Keduanya berbeda dalam perspektif terhadap balaghah.

Aliran balaghah kalam lebih banyak berpegang kepada analogi dan logika filsafat dalam mengukur baik tidaknya bahasa sedangkan aliran sastra lebih mengedepankan daya seni dan daya tangkap keindahan. Ilmu balaghah yang terus berkembang dan sampai kepada kita saat adalah yang lebih bercorak kalamiyyah, memiliki banyak batasan kata dan definisi-definisi.

Demikian ilmu balaghah ini yang tidak menutup kemungkinan untuk terus berubah menuju lebih baik atau bahkan mengalami kemunduran. Hal ini tergantung kepada para pemegang ilmu ini, apakah akan membiarkannya terdiam ataukah akan membawanya menuju kemajuan.

Referensi :

Ahmad Al-Iskandari, 1916, Al-Wasith fil-Adab al-‘Arabiy wa Tarikhuhu, Mesir: Penerbit Darul Ma’arif
Amin Al-Khuli, 1961, Manahij Tajdid fi an-Nahwi wal-Balaghah wat-Tafsir wal-Adab, Penerbit Dar al-Ma’arif
Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, juz 2, Penerbit Darul Hilal