Pengertian Balaghah
By Dr. H. R. Taufiqurrochman, MA on 1 September 2011
·
Pengertian Bahasa
Secara etimologis, berasal dari kata بلغ searti
dengan وصل (sampai).
Makna “sampai” dalam kata balaghah, bisa ditemukan, misalnya,
dalam firman Allah:
· حتى إذا بلغ أشدَّه وبلغ أربعين سنة (الأحقاف: 15)
Dalam ungkapan sehari-hari, arti “sampai” juga bisa ditemukan,
contoh:
· بلغ فلان مرادَه أي وصل إليه (Maksud si Fulan sudah sampai, artinya, tujuannya tercapai)
· بلغ الركب المدينة (Rombongan itu telah balagh atau sampai di
kota)
·
Pengertian Istilah
Secara terminologis, balaghah didefinisikan:
البلاغة هي مطابقة الكلام الفصيح لما يقتضيه الحال (لمقتضى الحال(
Artinya, “Balaghah adalah kesesuaian kalimat yang fasih (tepat,
benar) dengan situasi dan kondisi (muqtadhal haal). Kalam atau bahasa yang
fasih/jelas sesuai dengan situasi dan kondisi, inilah pengertian
balaghah.
Situasi dan kondisi yang dimaksud disini adalah audiens (مخاطب). Perubahan sikon audiens menuntut pula perubahan susunan
bahasa agar “nyambung”, tidak “mis komunikasi”.
Nilai balaghah setiap kalam bergantung kepada
sejauh mana kalam itu dapat memenuhi tuntutan situasi dan
kondisi setelah memperhatikan fasahah-nya (benar secara gramatikal).
Dalam
kajian sastra, balaghah menjadi sifat dari kalam dan mutakallim, sehingga
muncul sebutan كلام بليغ dan متكلم بليغ. Karena itu, Balaghah
memiliki 2 aspek; (1) balaghah kalimat atau kalam baligh dan (2) balaghah
pembicara atau mutakallim baligh.
·
Pengertian
Kalam Baligh
الكلام البليغ : هو الذي يصوره المتكلم بصورة تناسب أحوال المخاطبين
Kalam
Baligh ialah kalam yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta terdiri
dari kata-kata yang fasih (tepat, indah)
·
Pengertian
Mutakallim Baligh
المتكلم البليغ أو بلاغة المتكلم : هو مملكة في النفس يقتدر بها صاحبها على تأليف كلام
بليغ مطابقة لمقتضى الحال
Mutakallim
Baligh ialah kepiawaian yg ada pd diri seseorang dalam menyusun
kata-kata baligh (indah-tepat) sesuai dgn waktu dan tempat (situasi-kondisi)
·
Contoh
Kalam Baligh
يقول الناس إذا رأوا لصا أو حريقا : لصٌّ ، حريقٌ
Kalimat
di atas, artinya, “Orang-orang berteriak saat mereka melihat maling atau
kebakaran, dengan cukup berkata: Maliiiiing, Kebakaraaan”.
Kata “Maling” (lishshun)
dan kata “Kebakaran” (hariiq) merupakan kalam baligh atau kata yang sesuai
dengan konteks atau situasi yang mana mereka memilih satu kata saja, singkat,
padat, jelas, mengingat keadaan menuntut hal itu, yakni menuntut tindakan cepat
dan segera ada respon dari kalimat tersebut.
Seandainya kalimat itu
menggunakan sebuah kalimat yang memiliki unsur lengkap, misalnya:هو لص (dia maling), وجد حريق (ada kebakaran), maka
pilihan kalimat semacam ini, kelas balaghah-nya masih kalah dibanding dengan
contoh pertama di atas. Sebab, meski unsur-unsurnya lengkap (ada mubtada’ dan
khabar), tapi kalimat itu terlalu panjang sehingga sangat boleh jadi malah
kurang mendapat respon dari orang lain karena redaksinya yang panjang .
قال الله (وَأَنَّا لاَ نَدْرِيْ
أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الأرض ، أَمْ أَرَادَ بِهم ربُّهم رشدا)(الجن: 10)
Artinya,
“Dan kami (jin) tidak mengetahui apakah yang dikehendaki buruk terhadap
penduduk bumi ataukah Tuhan mereka (Allah) menghendaki kebaikan” (QS. Jin:10)
Pada ayat ini, ada kata
“Urida” (dengan kata kerja pasif atau mabni majhul) sedangkan kata “Arada”
(dengan kata kerja aktif atau mabni ma’lum yang jelas menunjukkan adanya
subjek, yakni kata “Tuhan mereka”).
Dimana
letak keindahannya dari kedua perbedaan tersebut? Jawabnya, kata “urida”
(majhul) memang sengaja digunakan untuk menyembunyikan subjeknya, yakni
“Allah”. Sebab, akan kurang sopan memunculkan subjek (Allah) untuk urusan
keburukan. Berbeda dengan kata “arada” (ma’lum) yang sengaja dipakai dengan
menunjukkan adanya subjek secara jelas dengan adanya kata “Tuhan mereka” untuk
menunjukkan bahwa kebaikan adalah kehendak Allah. Padahal, kita tahu, keadaan
baik maupun buruk, semuanya adalah kehendak dan ciptaan Allah. Hanya saja,
untuk keburukan tidak langsung dinisbatkan kepada Allah dengan cara
menyembunyikan subjeknya demi mengagungkan Allah.
Contoh
lain, misalnya, penutup pidato yang biasa diucapkan da’i, “Bila ada kata-kata
yang baik, semua itu dari Allah. Tapi, bila ada kata-kata yang salah, itu
semata-mata dari saya pribadi sebagai manusia”.
Kalimat
pidato ini jelas menunjukkan kalimat yang indah, baligh dari seorang muballigh
atau da’i yang baligh (mutakallim baligh). Dia ingin menunjukkan kehormatan dan
pengagungan terhadap Allah, meski sebenarnya dia tahu bahwa semua kata, apakah
itu baik maupun buruk, semuanya berasal dari Allah.
Linguistik
berasal dari bahasa latin, lingua. Dalam bahasa Perancis berpadanan dengan katalangue dan langage.
Sedangkan dalam bahasa Italia berpadanan dengan kata lingua dan
dalam bahasa Spanyol berpadanan dengan kata lengua.
Secara
leksikal, kata linguistik bermakna bahasa. Sedangkan secara
terminologis, linguistik mempunyai pengertian sebagai berikut:
1- Linguistik
adalah penelaan bahasa secara ilmiah. (Kamus
Pringgodigdo dan Hassan Shadily, 1977)
2- Linguistik
adalah ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek forma bahasa lisan dan tulisan
yang mempunyai ciri-ciri pemerlain. (Chaedar Alwasilah,
1993)
3- Linguistik
adalah ilmu yang mempelajari bahasa. (Al-Khully, 2003)
Linguistik,
ilmu bahasa, dibedakan menjadi 2 macam. Pertama, linguistik murni, teoritis,
pure, nadzary. Kedua, linguistik terapan, praktis, tathbiqy.
Pertama,
Linguistik Teoritis, yaitu ilmu bahasa yang membahas unsur-unsur utama tentang
bahasa itu sendiri.
Ketika
bahasa mencakup kajian tentang suara atau bunyi bahasa berdasarkan hakikat
bahasa adalah bunyi “al-Lughah hiya al-shawt”, maka lahir ilmu fonologi atau
ilm al-ashwaat (ilmu yang mempelajari tentang bunyi). Ilmu Bunyi ini berkembang
luas hingga muncul ilmu fonetik, dan ketika ilmu dihubungkan dengan penelitian
terhadap al-Qur’an, muncul ilmu tajwid, ilmu qiraat, dan sebagainya.
Ketika
dalam kajian bahasa juga dibahas tentang teori pembentukan kata, lalu lahirlah
ilmu morfologi atau ilmu sharaf. Ilmu ini membahas pembentukan kata, derivasi
kata, struktur kata, kata plural dan tunggal, kata ganti atau dhamir, dan
sebagainya.
Ketika
bahasa mengkaji hal yang lebih luas daripada sekedar bunyi dan kata, tapi juga
kalimat, maka diperlukan ilmu nahwu atau ilmu sintaksis yang bertugas untuk
mempelajari susunan kalimat, kedudukan kata dalam kalimat, bentuk-bentuk
gramatis dalam kalimat, dan sebagainya. Di Indonesia, ilmu nahwu paling
berkembang luas, terutama di dunia pesantren. Berbagai literatur mulai dari
ringkas dan mudah hingga yang luas dan mendalam, juga dipelajari.
Pada
tahap selanjutnya, bahasa pun tidak sekedar membahas kalimat, kata atau bunyi.
Namun, bahasa juga membahas makna. Bahkan, makna dinilai sebagai hal terpenting
dari bahasa, mengingat bahasa sekedar sebagai alat komunikasi, dan dalam
berkomunikasi pesanlah yang disalurkan oleh pemberi pesan kepada penerima
pesan. Pesan itu adalah makna, dan makna dalam linguistik dibahas dalam ilmu
khusus, yakni ilmu semantik (ilmu makna).
Ilmu
Semantik ini makin berkembang luas. Pada awalnya, ia hanya membatasi pada
pembahasan makna tiap kata sehingga lahir ilmu vocabulary atau ilmu mufradaat.
Di sana, makna kata dikupas tuntas, dicari pengembangan makna dari sebuah kata,
penyempitan makna, perluasan, makna ganda, makna denotatif – konotatif, dan
sebagainya.
Pada
perkembangan selanjutnya, kumpulan makna itu perlu dihimpun, diklasifikasikan,
dan disimpan. Atas dasar ini, muncul ilmu leksikologi atau ilmu ma’ajim. Yakni,
ilmu perkamusan sebagai pengembangan ilmu kosakata. Dalam ilmu ini, dibahas
model-model kamus, tehnik penulisan dan penyusunan kosakata, jenis-jenis kamus,
dan sebagainya.
Pada
perkembangan selanjutnya, semantik pun turut diperluas kajiannya. Bahwa, bahasa
tidak hanya sekedar membahas bunyi, kata, kalimat dan makna. Tapi, lebih
daripada itu, ada hal lain yang juga penting dikaji yang itu juga mempengaruhi
pemaknaan bahasa, penggunaan kata dan penyampaian bunyi atau intonasi
berbahasa. Hal itu adalah konteks. Yah, konteks atau siyaaq dinilai sebagai hal
urgen untuk dipelajari. Untuk mempelajari konteks itulah diperlukan ilmu
pragmatik, yakni ilmu yang membahas konteks atau wacana berbahasa.
Melihat
bagan di atas, tampaknya, ilmu balaghah tidak masuk dalam kajian linguistik.
Padahal sebenarnya, ilmu balaghah yang terdiri dari ilmu ma’ani, ilmu bayan dan
ilmu badi’, telah ada dalam bagan linguistik di atas.
Ilmu
Balaghah yang membahas makna kalimat dan konteksnya (ilmu ma’ani), secara
ontologis dan epistemologis, ada kesamaan dengan ilmu pragmatik. Ilmu Ma’ani
juga terkait dengan semantik dan bahkan, ketika ilmu ma’ani membahas
bentuk-bentuk kalimat khabari dan insya’i, ia masih terkait juga dengan ilmu
sintaksis (nahwu), ilmu morfologi (sharaf) dan ilmu fonologi (aswaat).
Demikian
pula, ketika ilmu balaghah membahas tentang makna kata yang meliputi tasybih,
majaz, kinayah (ilmu bayaan), maka ilmu ini juga memiliki titik temu dengan
ilmu leksikologi dan ilmu mufradaat. Termasuk juga, ketika ilmu balaghah bagian
ketiga (ilmu badi’) yang membahas keindahan kata dan makna, maka ini juga juga
hampir sama kajiannya dengan ilmu semiotika atau ilmu usluub yang sejatinya
juga membahas gaya bahasa.
Dengan
demikian, bisa dikatakan, bila kita mempelajari ilmu balaghah secara paripurna
meliputi ketiga bidangnya (ma’ani, bayan, badi’), maka sebenarnya kita telah
mempelajari linguistik murni secara lintas kajian. Oleh sebab itu, Muhammad
Al-Khuli berusaha memposisikan balaghah dalam bagan di bawah ini
Meski
demikian luasnya kajian balaghah dan ia berada di mana-mana, kan tetapi, untuk
mempelajari balaghah di era kini, perlu juga dihubungkan dengan ilmu linguistik
modern, mengingat linguistik modern yang terus berkembang, terutama pada obyek
kajiannya yang sering dikaitkan dengan tindak tutur dan tindak berbahasa masa
kini.
Sedangkan
balaghah yang hanya mempelajari obyek kajiannnya terbatas pada ayat-ayat
al-Qur'an, hadis Nabi, puisi (syair) maupun prosa (natsr) ulama balaghah
klasik, maka kondisi semacam itu tidak akan banyak membantu penguasaan bahasa
secara luas. Di sisi lain, belajar balaghah yang terbatas pada kajian “tempo
doeloe” juga akan mempersempit balaghah itu sendiri dan membuatnya stagnan.
Kedua,
Linguistik Praktis, yaitu ilmu bahasa yang membahas semua unsur bahasa, lalu
ilmu linguistik murni itu dihubungkan atau digabung dengan ilmu lain.
Misalnya,
gabungan antara linguistik dan sosiologi melahirkan sosiolinguistik (ilm lughah
ijtima’i); gabungan ilmu tentang jiwa atau psikologi dengan ilmu bahasa
melahirkan psikolinguistik (ilm lughah nafsi); dan sebagainya.
Selain
cabang di atas, bagian lingustik terapan tidak hanya sosiolinguistik dan
psikolinguistik, tapi masih banyak yang lain, seperti: geolinguistik (ilm
lughah jughrafi). Paedagogik-linguistik, leksikografi, matematika-linguistik,
dan seterusnya.
Pendahuluan
Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna
dalam satu masa. Ilmu mengalami fase sejarah dimana ia muncul, berkembang, dan
maju, hingga bisa jadi mengalami kepunahan.
Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu
dalam bahasa Arab pun mengalami fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya.
Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan
badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti yang kita kenal
sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah balaghah sebagai sebuah
ilmu.
Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut
Amin Al-Khuli meliputi tiga segi, yaitu: (1) Sejarah tentang materi balaghah
dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan
perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang
tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan
dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang sulit dipisahkan satu per
satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya saling berkaitan erat
satu sama lain.
Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah
perlu dipahami agar muncul kesadaran bahwa ilmu ini memang bukan benda mati
yang yang tidak dapat diperbarui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin
perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih maju, tidak mengalami kejumudan atau
bahkan kepunahan. Kemajuan yang dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah
dari segi pengajarannya yang lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas,
ataupun hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan
munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.
Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih
banyak pada sejarah tentang materi balaghah, tanpa banyak menyebutkan
tokoh-tokoh maupun buku-buku karangan balaghah yang ada.
Al-Quran dan Munculnya Ilmu-Ilmu Bahasa
Arab
Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak
lepas dari faktor turunnya Al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran sebagai kitab
samawi pegangan umat Islam merupakan inspirator bagi para ahli bahasa Arab
untuk mengkonsep berbagai macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga
keasliannya, membantu memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.
Para pakar bahasa ketika menghendaki
menafsirkan satu ayat atau menetapkan makna dari satu kata yang sulit dipahami,
maka mereka mendatangkan syair jahiliy yang memuat kata tersebut beserta makna
dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya bagi tafsir yang banyak menggunakan
pemaknaan secara bahasa, misal Tafsir Al-Kasysyaf karya
Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para pakar dengan syair dan produk
kesusastraan (adab) lainnya inilah yang menjadikan mereka menulis
berjilid-jilid buku tentang kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan
khazanah sastra lainnya. Mereka menulisnya salah satunya demi khidmah kepada
Al-Quran.
Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan kata-kata muncul dan berkembang. Ilmu-ilmu ini lebih dari
dua puluh macam, seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl,
dan lain-lainnya.
Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi
Secara historis istilah balaghah muncul
belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah muncul dengan berbagai istilahnya
sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah mendarah
daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Berbagai macam
pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat, seni, dan lainnya telah ada di
akal dan lisan manusia dalam kehidupannya jauh sebelum diajarkan dan
dikodifikasikan.
Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang
terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah
menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan
jauh sebelum Al-Quran turun.
Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus
dari seni berbahasa mereka. Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah
menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai pemilik bahasa tersebut. Mereka pun
telah menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa
Arab dan bahasa mereka.
Sebagaimana telah disampaikan di depan,
Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan
bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi
dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.
Para pakar yang biasa berbangga dengan
keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai
menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa.
Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya
percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam
menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan
berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat
mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun
pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk
mengetahui kemukjizatan Al-Quran.
Munculnya Ilmu Balaghah
Tema-tema ilmu balaghah mulai muncul
belakangan setelah muncul dan mulai berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf.
Tema-tema ini yang dulunya dikenal sebagai kritik sastra (naqd al-adab) semakin
berkembang lebih dari pada masa jahiliyah.
Mulai dari masa khilafah Umawiyah, sebenarnya
para ulama pakar sastra mulai bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan
berusaha menjelaskannya dengan contoh dan bukti-bukti dari apa yang
diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka. Dari sinilah kemudian mulai
muncul balaghah ‘arabiyyah dari berbagai segi. Disusunlah buku-buku yang
berbicara tentangnya hingga sampailah fase pengajaran dari sebuah ilmu.
Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang
balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan
Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170 H).
Untuk ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang
pertama kali yang menyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental
dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul
Quran-nya.
Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada
masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296
H) dan Qudamah bin Ja’far denganNaqd asy-Syi’r dan Naqd
an-Natsr (w. 337 H).
Itulah ilmu balaghah pada masa awal
kemunculannya. Yaitu terutama pada masa- masa abbasiy kedua (232-334 H). Dalam
fase tersebut, balaghah dengan tiga cabangnya masih belum jelas keterkaitannya
dalam kesatuan balaghah hingga nantinya memasuki masa perkembangannya di abad
kelima hijriyah.
Perkembangan Ilmu Balaghah
Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama
berikutnya saling melengkapi dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah
seorang pakar balaghah, Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjaniy (w. 471 H) yang
mengarang kitab tentang ilmu ma’aniy dengan judul Dalailul I’jaz,
dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian
setelah beliau, hadirlah abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf As-Sakakiy Al-Khawarizmi
(w. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap
daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah al-‘Ulum.
Perkembangan balaghah pada masa ini salah
satunya disebabkan oleh persinggungannya dengan ilmu kalam dan filsafat terkait
dengan i’jazul Quran. Adanya fenomena inilah yang kemudian oleh para pakar
sekarang dimunculkan istilah madrasah adabiyyah dan madrasah kalamiyyah atas
dasar kecenderungan yang dipilih dalam melakukan pembahasan balaghah.
Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas
tersendiri. Para pembela madrasah kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah
mereka dengan membuat batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian
fokus dengan membuat berbagai macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa
banyak menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk
menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka banyak berpegang pada
analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.
Sedangkan madrasah adabiyyah, mereka sangat
berlebihan dalam mengajukan bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi
maupun prosa, dan sedikit sekali memperhatikan tentang definisi dan
lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka
lebih banyak berpegang pada rasa seni, keindahan daripada kepada filsafat
ataupun logika.
Demikianlah, madrasah kalamiyyah memang sangat
berkepentingan dengan penguatan i’jazul Quran yang mana hal itu adalah titik
temu antara sastra, akidah, filsafat ketuhanan, dan lainnya. Sedangkan madrasah
adabiyyah, mereka banyak menguatkan karya sastra, latihan menyusun bahasa yang
baik, dan mendidik rasa kritis.
Masa berjalan, pada akhirnya madrasah
kalamiyyah lebih menguat dibandingkan adabiyyah hingga sampailah konsep
balaghah yang kita kenal saat ini, dari kitab-kitab yang ditulis para
pakar-pakarnya tersebut dari masa ke masa.
Penutup
Dari kajian terhadap literatur yang ada,
terkait balaghah, maka ia memiliki sejarah tersendiri, mulai dari benihnya,
munculnya, hingga perkembangannya.
Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi
balaghah telah mendarah daging dalam penggunaan bahasa Arab baik dalam puisi
maupun prosa. Dalam masa ini kemudian Al-Quran turun dengan kemukjizatan
sehingga mengalahkan selainnya dalam hal ketepatan dan keindahan bahasanya.
Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga
mulai muncul dan dikenal pada masa abbasiy kedua, yaitu abad ketiga dan keempat
hijriyah. Pada masa ini, balaghah masih belum jelas bentuknya. Kemunculan ini
disertai dengan disusunnya kitab dengan tema tersebut. Kemudian, ilmu ini
berkembang mulai abad kelima dengan ciri khasnya yang mulai bersinggungan
dengan I’jazul Quran sehingga memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran
sastra dan kalam. Keduanya berbeda dalam perspektif terhadap balaghah.
Aliran balaghah kalam lebih banyak berpegang
kepada analogi dan logika filsafat dalam mengukur baik tidaknya bahasa
sedangkan aliran sastra lebih mengedepankan daya seni dan daya tangkap
keindahan. Ilmu balaghah yang terus berkembang dan sampai kepada kita saat
adalah yang lebih bercorak kalamiyyah, memiliki banyak batasan kata dan
definisi-definisi.
Demikian ilmu balaghah ini yang tidak menutup
kemungkinan untuk terus berubah menuju lebih baik atau bahkan mengalami
kemunduran. Hal ini tergantung kepada para pemegang ilmu ini, apakah akan
membiarkannya terdiam ataukah akan membawanya menuju kemajuan.
Referensi :
Ahmad Al-Iskandari, 1916, Al-Wasith
fil-Adab al-‘Arabiy wa Tarikhuhu, Mesir: Penerbit Darul Ma’arif
Amin Al-Khuli, 1961, Manahij Tajdid fi
an-Nahwi wal-Balaghah wat-Tafsir wal-Adab, Penerbit Dar al-Ma’arif
Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah
al-‘Arabiyyah, juz 2, Penerbit Darul Hilal